Saturday, May 30, 2009

Menjernihkan Fatwa Facebook

Oleh : Emha Nabil Haroen
(Jawapos.com)
Hasil bahtsul masail yang digelar Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri Jawa Timur (FMP3 Jatim) di Pesantren Lirboyo pada 20-21 Mei 2009 menuai respons yang luas dan beragam. Tak hanya media-media massa nasional, media asing semacam Reuters, ABC, dan Associated Press pun memublikasikan isu itu. Sampai saat ini, simpang siur pendapat juga terus bermunculan di sejumlah forum formal-informal hingga grup-grup diskusi di internet.
Bahtsul masail sendiri merupakan forum diskusi keagamaan yang sudah mendarah daging di pesantren. Di dalamnya, dibahas persoalan-persoalan masyarakat yang membutuhkan tinjauan keagamaan secara ilmiah, rinci, dan terukur. Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar topik yang muncul didasarkan atas laporan, aduan, atau keluhan masyarakat tentang persoalan agama, sosial, budaya, hingga ekonomi. Bisa dikatakan bahwa bahtsul masail sesungguhnya merupakan cara khas pesantren untuk menyuarakan aspirasi masyarakat melalui perspektif agama.
Tulisan sederhana ini hendak menjernihkan kembali kerangka dan konteks yang mendasari keputusan-keputusan bahtsul masail FMP3 Jatim. Dalam hemat penulis, jika memandang isu tersebut sebatas pada permukaan dan kemudian memberikan penilaian sekenanya, itu tidak hanya menyederhanakan masalah, namun juga memperkeruh suasana. Termasuk tulisan saudara Abd. Basid yang dimuat Jawa Pos (25/5).
Topik yang menjadi kontroversi luas adalah hukum facebook dalam cara pandang hukum Islam (fiqh). Kontroversi tersebut agaknya berakar pada empat hal. Pertama, kesalahpahaman dalam menangkap secara utuh hasil bahtsul masaail FMP3 Jatim. Facebook sebenarnya hanya menjadi satu bagian dari seluruh topik yang dibahas.
Kedua, beberapa media memublikasikan secara terpotong-potong dalam hal kutipan, penyebutan sumber, hingga deskripsi hasil bahtsul masail.
Ketiga, kondisi psikis masyarakat belakangan ini cenderung memahami fatwa secara sempit. Hukum agama lantas dimengerti sekadar persoalan halal-haram belaka. Padahal, dalam wacana fiqh, halal-haram bukanlah kategori mutlak karena prasyarat, turunan, dan terapannya bisa bermacam-macam. Boleh jadi, kencenderungan berpikir hitam-putih itu dipengaruhi gencarnya (dis)informasi tentang berbagai fatwa MUI yang telah lalu.
Keempat, tingkat pemakaian situs jejaring sosial via internet, terutama facebook, di Indonesia yang tinggi dan terus meningkat membuat segala perbincangan mengenainya menjadi begitu sensitif.
Butuh ruang yang lebih luas dan tersendiri untuk mengurai empat hal tersebut. Karena itu, tulisan ini bermaksud menggarisbawahi bahwa FMP3 Jatim tidak menjatuhkan hukum haram terhadap fasilitas jejaring sosial-virtual semacam audio call, video call, SMS, 3G, YM, friendster, hingga facebook. Yang diharamkan adalah penggunaan fasilitas-fasilitas itu untuk tujuan-tujuan yang tidak tepat. Dengan melihat secara utuh hasil bahtsul masail FMP3 Jatim (untuk keterangan lengkap, silakan mengunjungi situs ), segera terlihat bahwa suatu keputusan fiqh ala Pesantren mencakup tidak hanya aspek transenden, namun juga aspek kemaslahatan, sosial, dan etika.
Peran Profetik Pesantren
Tampaknya, kita perlu meneropong ulang alasan-alasan logis yang mendasari penyikapan pesantren terhadap perkembangan realitas. Hal itu penting untuk memperoleh kejelasan konteks bahwa meyikapi perubahan bukanlah hal yang asing dan baru bagi pesantren, melainkan justru lebih sebagai pemenuhan terhadap tanggung jawab sosial.Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang akar historisnya tertancap jauh sebelum masa kolonial.
Pesantren selalu ikut ambil bagian dalam babak-babak penting sejarah Nusantara, baik dalam skala mikro, meso, maupun makro. Sekalipun dalam kenyataannya sering sengaja dipinggirkan dan diperlemah oleh otoritas-otoritas tertentu, pesantren tetap memiliki sensibilitas terhadap persoalan-persoalan masyarakat dan kebangsaan.
Di sini perlu dikemukakan kembali bahwa watak kemandirian dalam berpikir, bersikap, dan bertindak memungkinkan pesantren untuk terus bertahan selama berabad-abad. Eksistensi pesantren dalam jangka waktu yang lama itu dimungkinkan oleh karakternya yang bisa bergerak selaras dengan perubahan sosial (Ziemek, 1983). Hal tersebut berhubungan dengan suatu kaidah fiqh yang berbunyi "al muhaafadlatu 'ala al qadim al shalih wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah" (melestarikan khazanah tradisi yang relevan sembari mengupayakan pembaruan).
Dewasa ini, sejumlah pakar melihat bahwa dunia tengah memasuki suatu zaman di mana informasi menjadi basis penggerak (Rogers, 1986). Globalisasi adalah nama bagi gejala zaman baru itu. Dengan dua ciri utama, yakni keterbukaan dan persaingan bebas, globalisasi membawa lima ongkos yang mesti dibayar: hilangnya keragaman, terjadi fragmentasi dan kuantifikasi, lahirnya impersonalitas, hilangnya harapan, dan alienasi manusia dari spiritualitas (Moesa, 2002).
Pada dasarnya, pesantren secara sadar memainkan peran profetik dalam persilangan antarbudaya (cross-roads of cultures). Di satu sisi, seperti pernah diungkap Ahmad Baso, kiai-kiai pesantren adalah penerjemah dan penafsir aktif wacana kepesantrenan ke dalam konteks kebangsaan dan kemodernan-global. Sementara itu, di sisi yang lain, kiai juga menerjemahkan wacana kebangsaan dan kemodernan-global ke dalam konteks kepesantrenan.
Bagi pesantren, fiqh menjadi salah satu jalur strategis untuk memainkan peran profetik dalam persilangan budaya itu. Salah satu kekuatan fiqh terletak pada sinergi antara bangunan ilmu yang kukuh dan sistematis, pertimbangan kemaslahatan sosial, dan daya transendensinya.
Kita mendapati kenyataan bahwa di negeri ini, globalisasi dalam segala wujud dan tingkatannya sering ditelan mentah-mentah. Dengan mudah kita bisa menemukan fenomena ''gegar budaya" dalam banyak bidang kehidupan. Tentu saja, sikap tanpa reserve terhadap pengaruh globalisasi menjadi berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa. Pada titik inilah, kita mendapatkan alasan mengapa, sebagai salah satu simbol kekuatan tradisi, pesantren mesti ikut bersuara.
Dalam kerangka itulah, bahtsul masaail FMP3 Jatim justru menjadi wujud kepekaan sekaligus perlawanan dunia pesantren dalam menghadapi globalisasi yang diamini dan diimani secara permisif di negeri ini.
*) Emha Nabil Haroen, juru bicara FMP3 Jatim dan pengurus PW LTN NU Jawa Timur
Published by: ngger_basuki for http://www.great-online.blogspot.com

Thursday, May 14, 2009

Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 Kapan Ada Keadilan untuk Korban?


Oleh : Mustofa Liem
Para korban dan keluarganya pasti belum bisa melupakan Tragedi 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Meski sudah 11 tahun berlalu, tragedi itu tetap menjadi misteri yang menyisakan elegi bagi para korbannya.Memang keberadaan negeri ini sudah lama kehilangan makna. Bagi para korban HAM, negara sudah lama absen. Ketika tragedi kelabu itu terjadi, tangisan, teriakan, dan jeritan frustrasi para korban tidak pernah didengar oleh negara, oleh pemerintah waktu itu, pemerintah yang menyusulnya kemudian sampai pemerintah di era sekarang. Memang sudah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Komnas HAM, telah terjadi perkosaan secara masal, sistematis, biadab, dan keji terhadap para wanita etnis Tionghoa di tengah kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Pemerintah Habibie juga sudah membentuk Tim Perlindungan Wanita terhadap Kekerasan, juga ada Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pada 23 Juli 1998. Rekomendasi kedua tim tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Jadi, sampai sekarang para pelaku Tragedi Mei itu tak satu pun yang ditangkap atau diadili.Komnas HAM Tak Berdaya Komnas HAM yang dulu atau sekarang telah berupaya memanggil para mantan jenderal yang dianggap mengetahui atau bertanggung jawab atas beberapa kasus pelanggaran HAM masa lalu, tapi pemanggilan itu selalu gagal. Polemik antara para mantan jenderal dan Komnas HAM pun tak terelakkan. Semisal Menhan Juwono Sudarsono malah balik "menggugat" kewenangan hukum Komnas HAM.Pernyataan Menhan (yang mewakili pemerintah) menunjukkan bahwa sesungguhnya komitmen pemerintah menegakkan HAM masih kecil, sementara iklim politik masih didominasi spirit anti-HAM. Padahal, pengungkapan kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di tanah air seperti "Tragedi Mei 1998" memerlukan komitmen dari pemerintah. Tanpa ada komitmen dan good will langsung dari presiden ,kasus tersebut bakal terkubur.Para pelanggar HAM, apalagi dari kalangan militer, sudah bisa dipastikan akan menolak dituduh sebagai penanggung jawab pelanggaran HAM dengan beragam argumentasi dan rasionalisasi. Mereka akan mengatakan bahwa kesalahan terletak bukan pada diri mereka.Yang menyedihkan justru ada rasionalisasi bahwa para korban HAM dalam peristiwa 13-15 Mei 1998 itu tidak pernah ada, karena tidak pernah bisa dibuktikan. Apalagi, jika dikaitkan dengan perundang-undangan pemerkosaan di negeri ini. Bagaimana membuktikan bahwa korban sungguh diperkosa?Seperti dikatakan advokat senior Surabaya Trimoelja D. Soerjadi dalam beragam kesempatan bahwa setiap kasus yang terindikasi melibatkan militer, seperti Tragedi Mei, tidak pernah akan bisa diselesaikan dengan memuaskan. Artinya, para pelaku tetap bisa mengirup udara kebebasan. Tak ada keadilan bagi para korban. Hal ini juga terjadi pada kasus pelanggaran HAM lain, mulai Peristiwa 1965 dan Tragedi Mei 1998.Rekonsiliasi Sejati Meski demikian, penulis menganjurkan para korban Tragedi Mei untuk berani memaafkan, meskipun memaafkan bukan berarti harus melupakan. Harus selalu dicari ruang untuk mengingat peristiwa buruk seperti Tragedi Mei 1998. Dengan demikian, usul islah atau rekonsiliasi jangan pernah diabaikan meski ada yang bertanya untuk apa rekonsiliasi.Tentu ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar rekonsiliasi terwujud. Pertama, harus diakui adanya pelanggaran berat HAM dalam Tragedi Mei 1998. Itu berarti ada pelaku yang harus bertanggung jawab. Kedua, keadilan harus ditegakkan. Artinya, pelaku harus mendapatkan sanksi hukum. Dengan demikian, luka hati korban dan keluarganya mendapatkan pemulihan. Setelah proses hukum ditegakkan, antara korban dan pelaku harus diupayakan perdamaian, supaya kebencian dan dendam tidak hidup terus sepanjang tujuh turunan.Uskup Desmond Tutu, ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, menulis bahwa rekonsiliasi sejati mengekspos kekejaman, kekerasan, kepedihan, kebejatan, dan kebenaran, bahkan terkadang dapat memperburuk keadaan. Ini adalah perbuatan berisiko. Meski begitu, pada akhirnya akan ada pemulihan nyata setelah menyelesaikan situasi yang sebenarnya. Rekonsiliasi yang palsu hanya dapat menghasilkan pemulihan palsu (Buku No Future Without Forgivenes, 1999).Akhirnya untuk negara dan pemerintah, sekali lagi utang-utang pada para korban harus dilunasi. Tocqueville (1805-1859) mengingatkan: "Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut". Kabut dari peristiwa gelap masa lalu itulah yang harus disingkap negara demi keadilan pada para korban, termasuk korban Tragedi Mei. Selama orang terus mencari alasan guna lari dari tanggung jawab terhadap para korban HAM dan kekuasaan negara memberi perlindungan terhadap sikap pengecut ini, sehingga para pelaku terus menikmati impunitas di atas derita para korban HAM, negeri ini tetap akan susah mencapai masa depan. Sebab, pelanggaran HAM di masa silam selama terus dibiarkan justru menjadi kabut yang menghalangi perjalanan bangsa ini ke depan. Kabut itu harus disingkap dan para korban dijamin mendapatkan keadilan yang setimpal. Dengan demikian, kita bisa menyongsong masa depan tanpa ada yang dikorbankan lagi. *). Mustofa Liem PhD, Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan.
Published by: ngger_basuki for http://www.great-online.blogspot.com

Tembus Kecepatan Suara


Inilah foto terbaru bomber Siluman B-2, pesawat pembunuh paling canggih dan mematikan abad ini, yang dirilis militer AS kemarin (12/5). Berbeda dengan rilis gambar sebelumnya, kali ini sebagian gambar B-2 terlihat kabur. Penjelasan militer AS, bagian yang blur itu bukan karena materi pesawat menmghilang, namun karena kondensasi awan karena saat difoto pesawat antiradar itu sedang melaju di atas kecepatan suara (1.238 km/jam). Saat itu, pesawat melintas di atas padang pasir Palmdale, dekat Los Angeles, awal pekan lalu. (EPA)
Published by: ngger_basuki for http://www.great-online.blogspot.com